Follow @ricojco
"Itu Gruvi, ya? Kok nggak warna-warni?"
Begitu komentar seorang rekan saat Ari, Derry, dan Tendra Gruvi berkunjung ke kantor Yahoo! Indonesia beberapa waktu lalu. Rupanya ciri khas baju warna-warni yang biasa ditampilkan band ini di atas panggung memang kini sudah mereka tinggalkan.
"Sekarang kami cuma pakai warna sebagai aksen aja, misalnya di sepatu, atau di topi," ujar Ari, vokalis.
Namun perubahan warna kostum bukan satu-satunya yang berbeda dari Gruvi. Di album pertama mereka terdiri dari lima orang personel. Tersisa empat personel di album kedua. Dan di album ketiga, personel band ini tinggal tiga orang.
"Album keempat rencananya kita punya 12 personel. Hahaha...," canda Derry, drummer.
Mereka mengaku tak mengalami kesulitan dengan jumlah anggota yang terus menyusut. Bahkan formasi tiga orang ini dianggap yang paling ideal karena lebih mudah menyatukan ide dari tiga kepala dibandingkan lima.
"Setelah bertiga, malah lebih seru. Ngatur jadwalnya juga jadi lebih gampang. Dan entah kenapa sekarang kita jadi lebih sering nongkrong bareng dibanding dulu waktu masih berlima. Kebersamaannya lebih terasa," ujar Ari, sekaligus mengungkapkan alasan kenapa mereka belum tertarik mencari personel baru.
Dengan formasi bertiga ini pula, Gruvi mencoba sesuatu yang baru di album ketiga mereka. Album ini bahkan diberi nama "Jadi Gini" untuk menunjukkan bahwa Gruvi kini "jadi begini". Ciri khas musik mereka yang positif, dengan lirik yang lugas tanpa metafora, tetap dipertahankan. Namun kali ini mereka memilih kata-kata yang lebih dewasa.
"Dari segi musik pun berubah. Kita lebih ngulik sound, dan aransemennya juga lebih matang. Gruvi itu kayak sekolah, kita belajar banyak di sini. Dan sesuai perubahan umur, musik kita juga harus berkembang dong," Derry menjelaskan.
Mengubah imej dan konsep musik tentu saja bukan hal yang mudah, apalagi menyangkut penggemar setia yang kadang tak menerima idolanya berubah. Namun hal ini sudah diantisipasi Gruvi.
"Selalu ada dia sisi. Selalu ada yang suka, dan ada juga yang nggak suka. Tapi inilah yang membuat jadi balance. Karena ada yang nggak suka itulah kita jadi terpacu untuk terus berkembang dan membuat sesuatu yang baru. Inilah yang membuat kita tetap bertahan sampai sekarang," ujar Tendra.
Bicara soal fans, ada pengalaman menarik saat Gruvi tampil membuka konser Justin Bieber di Jakarta, 23 April lalu. Di panggung SCC Sentul itu untuk pertama kalinya Gruvi bermain di hadapan sepuluh ribu penonton yang menjerit-jerit histeris menanti Justin Bieber.
"Selama manggung, kita sama sekali nggak bisa dengar apa yang kita mainkan. Ketutup sama suara jeritan penonton," Ari bercerita.
Dan meski semua penonton malam itu datang untuk menyaksikan penampilan Justin Bieber, banyak di antara mereka yang pulang membawa status baru: sebagai Gruvis (sebutan untuk fans Gruvi).
"Kami beberapa kali diajak ketemuan sama Beliebers. Ternyata banyak yang jadi suka sama Gruvi dan beli album kami setelah nonton penampilan kami di konser Bieber. Ini rencananya Beliebers mau ada acara jalan-jalan ke Anyer, dan kami diajakin juga. Senang banget," ujar Ari.
Tak ingin menyia-nyiakan penggemar setia yang jumlahnya sudah cukup banyak, Gruvi pun punya rencana untuk memberdayakan para Gruvis.
"Kami ingin jadi band yang online friendly. Kami punya cita-cita memberdayakan Gruvis untuk ikut jual tiket show Gruvis secara online, modelnya mirip MLM gitu," ujar band yang juga rajin berbagi keseharian mereka kepada fans lewat streaming di internet ini.